Mengenal Allah SWT dengan Akal ?
Pertanyaan yang lucu dan aneh !. Akal jelas adalah satu-satunya
cara mahluk hidup yang bernama manusia itu untuk mengenal Allah azza wa jalla.
Ada cara lain?.
Tidak ada !
Apakah Allah ada masuk akal atau mengada-ada?. Apakah Allah ada karena moralitas menghendaki
ada?. Karena kebaikan universal
mewajibkannya ada?. Karena segala sesuatu, tentulah harus ada yang mencipta,
maka Allah harus ada ?.
(Sumber link)
Akal dan Konsep Ketuhanan
Meskipun meyakini adanya Tuhan adalah masalah Fithri yang
tertanam dalam diri setiap manusia, namun karena kecintaan mereka kepada dunia
yang berlebihan sehingga mereka disibukkan dengannya, mengakibatkan mereka lupa
kepada Sang Pencipta dan kepada jati diri mereka sendiri. Yang pada gilirannya,
cahaya Fitrah mereka redup atau bahkan padam.
Walaupun demikian, jalan menuju Allah itu banyak. Para Ahli
ma’rifat berkata,”Jalan-jalan menuju ma’rifatullah sebanyak nafas makhluk.”
Salah satu jalan ma’rifatullah adalah akal. Terdapat sekelompok kaum muslim,
golongan ahli hadis (Salafi) atau Wahabi, yang menolak peran aktif akal
sehubungan dengan ketuhanan. Mereka berpendapat, bahwa satu-satunya jalan untuk
mengetahui Allah adalah nash (Al-Qur’an dan hadis). Mereka beralasan dengan
adanya sejumlah ayat atau riwayat yang secara lahiriah melarang menggunakan
akal (ra’yu). Padahal kalau kita perhatikan, ternyata Al-Qur’an dan hadis
sendiri mengajak kita untuk menggunakan akal, bahkan menggunakan keduanya
ketika menjelaskan keberadaan Allah lewat argumentasi (burhan) Aqli. Pada edisi
berikutnya, Insya Allah akan kita bicarakan tentang Al-Qur’an, hadis dan konsep
ketuhanan.
Dalam persepsi mereka, membicarakan agama adalah suatu hal
yang sangat sensitif dan akan merenggangkan hubungan antara manusia. Agama
merupakan sesuatu yang sangat personal dan tidak perlu diungkap dalam
forum-forum umum dan terbuka. Jika harus berbicara agama pun, maka ruang
lingkupnya harus dibatasi pada sisi peribadatan saja.
Bisakah Tuhan dibuktikan dengan akal ?
Sebenarnya pertanyaan ini tidaklah tepat, karena bukan saja
Allah bisa dibuktikan dengan akal. Bahkan, pada beberapa kondisi dan situasi
hal itu harus dibuktikan dengan akal, dan tidak mungkin melakukan pembuktian
tanpa akal.
Anggapan yang mengatakan, bahwa pembuktian wujud Allah hanya
dengan nash saja adalah anggapan yang sangat naif. Karena bagaimana mungkin
seseorang menerima keterangan Al-Qur’an, sementara dia belum mempercayai wujud
(keberadaan) sumber Al-Qur’an itu sendiri, yaitu Allah Ta’ala.
Lebih naif lagi, mereka menerima keterangan Al-Qur’an
lantaran ia adalah kalamullah atau sesuatu yang datang dari Allah. Hal itu
berarti, mereka telah meyakini wujud Allah sebelum menerima keterangan
Al-Qur’an. Lalu mengapa mereka meyakini wujud Allah.
Mereka menjawab,”Karena Al-Qur’an mengatakan demikian.” Maka
terjadilah daur (Lingkaran Setan?, lihat istilah daur pada pembahasan
selanjutnya). Dalam hal ini, Al-Qur’an dijadikan sebagai pendukung dan penguat
dalil aqli.
Para ulama, ketika membuktikan wujud Allah dengan
menggunakan burhan aqli, terkadang melalui pendekatan kalami (teologis) atau
pendekatan filosofis.
Pada kesempatan ini Insya Allah kami mencoba menjelaskan
keduanya secara sederhana dan ringkas.
Burhan-burhan Aqli-kalami tentang keniscayaan wujud Allah
Ta’ala
1. Burhan Nidham (Keteraturan)
Burhan ini dibangun atas beberapa muqaddimah (premis).
Pertama, bahwa alam raya ini penuh dengan berbagai jenis
benda, baik yang hidup maupun yang mati.
Kedua, bahwa alam bendawi (tabi’at) tunduk kepada satu
peraturan. Artinya, setiap benda yang ada di alam ini tidak terlepas dari
pengaruh undang-undang dan hukum alam.
Ketiga, hukum yang menguasai alam ini adalah hukum
kausalitas (‘ilaliyyah), artinya setiap fenomena yang terjadi di alam ini pasti
dikarenakan sebuah sebab (‘illat), dan tidak mungkin satu fenomena terjadi
tanpa sebab. Dengan demikian, seluruh alam raya ini dan segala yang ada di
dalamnya, termasuk hukum alam dan sebab-akibat, adalah sebuah fenomena dari
sebuah puncak sebab (prima kausa, atau ‘illatul ‘ilal).
Keempat, “sebab” atau ‘illat yang mengadakan seluruh alam
raya ini tidak keluar dari dua kemungkinan, yaitu “sebab” yang berupa benda
mati atau sesuatu yang hidup.
Kemungkinan pertama tidak mungkin, karena beberapa alasan
berikut : Pertama, alam raya ini sangat besar, indah dan penuh keunikan. Hal
ini menunjukkan bahwa “sebab” yang mengadakannya adalah sesuatu yang hebat,
pandai dan mampu. Kehebatan, kepandaian dan kemampuan, merupakan ciri dan sifat
dari sesuatu yang hidup. Benda mati tidak mungkin disifati hebat, pandai dan
mampu.
Kedua, benda-benda yang ada di alam ini beragam dan
bermacam-macam, di antaranya adalah manusia. Manusia merupakan salah satu
bagian dari alam yang palin menonjol. Dia pandai, mampu dan hidup. Mungkinkah
manusia yang pandai, mampu dan hidup terwujud dari sesuatu yang mati ?
Kesimpulannya, bahwa alam raya ini mempunyai “sebab” atau
‘illat, dan “sebab” tersebut adalah sesuatu yang hidup. Kaum muslimin menamai
“sebab” segala sesuatu itu dengan sebutan Allah Ta’ala.
2. Burhan al-Huduts (Kebaruan)
Al-Huduts atau al-Hadits berarti baru, atau sesuatu yang
pernah tidak ada. Burhan ini terdri atas beberapa hal :
Pertama, bahwa alam raya ini hadits, artinya mengalami
perubahan dari tidak ada menjadi ada dan akhirnya tidak ada lagi.
Kedua, segala sesuatu yang asalnya tidak ada kemudian ada,
tidak mungkin ada dengan sendirinya. Pasti dia menjadi ada karena “sebab”
sesuatu.
Ketiga, yang menjadikan alam raya ini ada haruslah sesuatu
yang qadim, yakni keberadaannya tidak pernah mengalami ketiadaan. Keberadaannya
kekal dan abadi. Karena, jika sesuatu yang mengadakan alam raya ini hadits
juga, maka Dia-pun ada karena ada yang mengadakannya, demikian seterusnya
(tasalsul). Tasalsul yang tidak berujung seperti ini mustahil. Dengan demikian,
pasti ada ‘sesuatu’ yang keberadaannya tidak pernah mengalami ketiadaan. Kaum
muslimin menamakan ‘sesuatu’ itu dengan sebutan Allah Ta’ala.
Burhan-burhan Aqli-Filosofi tentang kenicayaan wujud Allah
Ta’ala
A. Burhan Imkan Sebelum menguraikan burhan ini, ada beberapa
istilah yang perlu diperjelas terlebih dahulu :
Wajib, yaitu sesuatu yang wujudnya pasti, dengan sendirinya
dan tidak membutuhkan kepada yang lain.
Imkan atau mumkin, sesuatu yang wujud (ada) dan ‘adam
(tiada) baginya sama saja (tasawiy an-nisbah ila al-wujud wa al-‘adam). Artinya
sesutu yang ketika ‘ada’ disebabkan faktor eksternal, atau keberadaannya tidak
dengan sendirinya. Demikian pula, ketika ‘tidak ada’ disebabkan faktor
eksternal pula, atau ketiadaannya juga tidak dengan sendirinya. Dia tidak membias
kepada wujud dan kepada ketiadaan. Menurut para filosuf, hal ini merupakan ciri
khas dari mahiyah (esensi).
Mumtani’ atau mustahil, yaitu sesuatu yang tidak mungkin ada
dan tidak mungkin terjadi, seperti sesuatu itu ada dan tiada pada saat dan
tempat yang bersamaan (ijtima’un naqidhain).
Daur (siklus atau lingkaran setan). Misal, A keberadaannya
tergantung/membutuhkan B, sedangkan B keberadaannya tergantung/membutuhkan A.
Jadi A tidak mungkin ada tanpa keberadaan B terlebih dahulu, demikian pula B
tidak mungkin ad tanpa keberadaan A terlebih dahulu. Dengan demikian, A tidak
akan ada tanpa B dan pada saat yang sama A harus ada karena dibutuhkan B. Ini
berarti ijtima’un naqidhain (lihat Mumtani’).
Contoh lainnya, A keberadaannya tergantung/membutuhkan B,
dan B kebradaannya tergantung membutuhkan C, sedangkan C keberadaannya
tergantung/membutuhkan A. Jadi, A tidak mungkin ada tanpa keberadaan B terlebih
dahulu, demikian juga B tidak mungkin ada tanpa keberadaan C terlebih dahulu,
demikin pula C tidak mungkin ada tanpa keberadaan A terlebih dahulu. Daur
adalah suatu yang mustahil adanya.
Tasalsul, yaitu susunan sejumlah ‘illat dan ma’lul, dengan
pengertian bahwa yang terdahulu menjadi ‘illat bagi yang kemudian, dan
seterusnya tanpa berujung. Tasalsul sama dengan daur, mustahil adanya.
Burhan Imkan dapat dijelaskan dengan beberapa point berikut
ini :
Pertama, bahwa seluruh yang ada tidak lepas dari dua posisi
wujud, yaitu wajib atau mumkin.
Kedua, wujud yang wajib ada dengan sendirinya dan wujud yang
mumkin pasti membutuhkan atau berakhir kepada wujud yang wajib, maka akan
terjadi daur (siklus) atau tasalsul (rentetan mata rantai yang tidak berujung)
dan keduanya mustahil.
Ketiga, bahwa yang mumkin berakhir kepada yang wajib. Dengan
demikian, yang wajib adalah ‘sebab’ dari segala wujud yang mumkin (prima kausa
atau ‘illatul ‘ilal). Kaum muslimin menamakan wujud yang wajib dengan sebutan
Allah Ta’ala.
B. Burhan ash-Shiddiqin
Burhan ini menurut para filosuf muslim, merupakan terjemahan
dari ungkapan Ahlibait as. yang berbunyi,”Wahai Dzat yang menunjukkan diri-Nya
dengan diri-Nya.” (Doa Shabah Amir al-Mukminin Ali bin Abi Thalib as.) Artinya,
burhan ini ingin menjelaskan pembuktian wujud Allah melalui wujud diri-Nya
sendiri. Para ahli mantiq (logika) menyebutnya dengan burhan Limmi. Penjelasan
burhan ini, hampir sama dengan penjelasan burhan Imkan.
Ada beberapa penafsiran tentang burhan shiddiqin ini. Di
antaranya penafsiran Mulla Shadra. Beliau mengatakan, “Dengan demikian, yang
wujud terkadang tidak membutuhkan kepada yang lain (mustaghni) dan terkadang
pula, secara substansial, ia membutuhkan kepada yang lain (muftaqir). Yang
pertama adalah wujud yang wajib, yaitu wujud murni. Tiada yang lebih sempurna
dari-Nya dan Dia tidak diliputi ketiadaan dan Dia tidak diliputi ketiadaan dan
kekurangan. Sedangkan yang kedua , adalah selain wujud yang wajib, yaitu
perbuatan-perbuatan-Nya yang tidak bisa tegak kecuali dengan -Nya. (Nihayah
al-Hikmah, hal. 269).
Allamah al-Hilli , dalam kitab Tajrid al-‘I’tiqad karya
Syekh Thusi, menjelaskan, “Diluar kita secara pasti ada yang wujud. Jika yang
wujud itu wajib, maka itulah yang dimaksud (Allah Ta’ala) , dan jika yang wujud
itu mumkin, maka dia pasti membutuhkan faktor yang wujud (ntuk keberadaannya).
Jika faktor itu wajib , maka itulah yang dimaksud (Allah Ta’ala). Tetapi jika
faktor itu mumkin juga, maka dia membutuhkan faktor lain dan seterusnya
(tasalsul) atau daur. Dan keduanya mustahil adanya.
Kitab Rujukan :
1. Nihayah al Hikmah, karya Allamah Thabathabai.
2. Kasyf al-Murad fi Syarh at-tajrid, karya Allamah
al-Hilli.
3. Bab al-Hadi ‘Asyr, karya Allamah al-Hilli
4. Al-Ilahiyyat, karya Syekh Ja’far Subhani.
5. Muhadharah fi Ilmi al-Kalam (kaset), ceramah Sayyid Kamal
Haydari.
(sumber asli pada link)
Komentar
Posting Komentar