PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA

Perkembangan Islam di Indonesia dapat kita secara menyeluruh dalam sejarah nasional Indonesia. Islam datang ke Nusantara dibawa oleh pedagang-pedagang Muslim dari Gujarat, Arab, Persia, dan Cina serta melakukan infilitrasi sejak abad ke-7-15 M dan terus berkembang serta eksis di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa sejak abad ke-17 M. Masuknya Islam di Nusantara yang menjadi cikal bakal Indonesia saat ini melalui beberapa saluran seperti perdagangan, perkawinan, tasawuf, dan bahkan dalam perkembangannya Islam di Indonesia memperluas hegemoninya melalui peperangan guna memperluas kekuasaan politik kerajaan-kerajaan Islam. 

Ekspansi kemudian dilakukan kepada kerajaan Islam lainnya atau kepada kerajaan Hindu atau Buddha yang tersisa di Nusantara, seperti Kesultanan Banten yang meruntuhkan sisa-sisa Kerajaan Padjajaran atau Kesultanan Demak yang mengekspansi Kerajaan Majapahit. Islam juga tumbuh selaras dengan kebudayaan di Indonesia, selama melakukan infilitrasi di Nusantara. Infiltrasi dilakukan dengan menggunakan perpaduan budaya, berbeda dengan Islamisasi di wilayah Timur Tengah yang cenderung menggerus kebudayaan lama. 

Islam di Indonesia mengubah kebudayaan yang ada agar selaras dengan nilai-nilai Islam, Sunan Bonang dan Kalijaga menggunakan wayang sebagai media penyebaran dakwah Islam untuk menarik simpati masyarakat Jawa pada saat itu. Penyebaran Islam dilakukan dengan tidak mengubah dominan nilai yang ada di masyarakat, para pendakwah seperti Wali Songo melakukan penyebaran Islam kepada masyarakat seolah-olah Islam adalah bagian dari masyarakat Jawa.

Di era Indonesia Modern, Islam tumbuh dan berkembang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia, selain sebagai agama terbesar yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, Islam juga menjadi bagian dari identitas politik dan perjuangan. Selain sebagai identitas politik, Islam pun khususnya di Jawa terbagi menjadi beberapa golongan kelas sosial, menurut Clifford Geertz dalam Agama Jawa: abangan, santri, priyayi dalam kebudayaan Jawa, mengungkapkan tentang adanya trikotom kelompok-kelompok Islam di Jawa yang terbagi atas abangan, santri dan priyayi. Pengelompokan ini ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik.

Orang abangan berangapan bahwa pengamalan ajaran Islam berintikan sebagai ajaran kemanusiaan yang berfokus pada bagaimana menerapkan Islam dalam kehidupan sehari-hari dan mengaplikasikan nilai-nilai Islam secara parsial. Orang abangan tidak menjalankan ajaran Islam dengan sepenuhnya, semisalnya dalam sudut peribadatan, hal ini dikarenakan masih tercampurnya ajaran Islam dengan kebudayaan Hindu-Buddha yang melekat dalam kebudayaan masyarakat Jawa, orang abangan ini yang dikenal menjalankan ajaran Islam Kejawen. 

Ajaran Islam Kejawen ini salah satunya begitu melekat dalam kehidupan Islam di Keraton Yogyakarta dan Surakarta yang menjalankan ajaran Islam, namun masih mempercayai mitologi jawa kuno seperti, bahwa “seorang raja berkerabat dengan Nyi Roro Kidul.” Berbeda dengan abangan, santri dan priyayi merupakan kelompok Islam yang menjalankan agama sebagai bagian dari kehidupan, kelompok santri akan tumbuh disekolah-sekolah agama yang disebut “pesantren” dan cenderung konservatif, sedangkan golongan priyayi merupakan kelompok Islam yang berasal dari golongan bangsawan yang pada era Pemerintahan Hindia Belanda mendapatkan pendidikan barat dan cenderung berpandangan reformis dan moderat dalam menjalankan kehidupan beragama. Namun meski demikian. 

Golongan santri menyebut bahwa orang-orang barat sebagai orang kafir yang ingin melakukan kristenisasi terhadap abangan dan berusaha untuk melakukan pencegahan, meskipun disisi lain abangan mendapatkan sentimentasi sebagai orang-orang musyrik dari kelompok santri. Hingga pada akhirnya antara santri, abangan, dan priyayi menyatukan kekuatan untuk melakukan perlawanan terhadap kolonialisme yang dilakukan oleh bangsa barat, terlepas dari agama persatuan tersebut lebih dapat dilihat sebagai semangat nasionalisme membebaskan tanah Jawa dari monopolisme dan kolonialisme terhadap perekonomian dan politik. 

Hal ini hampir dapat dikatakan mirip seperti perlawanan kaum paderi dan kaum adat yang sebelumnya terlibat konflik atas pandangan agama namun akhirnya menyatukan kekuatan untuk melawan Belanda yang berusaha melakukan politik devide et impera dan pax netherlandica terhadap Minangkabau.

Pada abad ke 20, perlawanan bangsa Indonesia tidak hanya dalam bentuk perlawanan militer dan politik, tetapi meluas ke dalam hampir semua bidang kehidupan seperti politik, ekonomi dan sosial. Pada masa ini muncul sejumlah organisasi Islam moderen yang menerapkan prinsip pengetahuan rasional dan memanfaatkan perkembangan teknologi. 

https://madrowi.files.wordpress.com/2011/05/kha-wahid-hasyim.jpg

























K.H Abdul Wahid Hasyim

Jika pada masa sebelumnya banyak digunakan jimat-jimat kekebalan untuk melawan Belanda, sementara teknologi dianggap sebagai produk kafir yang harus dihindari; maka pada abad ke 20 metode atau cara-cara Barat yang tidak bertentangan dengan Syariat Islam banyak dimanfaatkan. Salah satunya pengenaan celana dan jas yang pada kurun waktu 1900-1945 dianggap sebagai simbol dari kafir barat, namun akhirnya banyak digunakan oleh orang-orang Islam yang menganggap sebagai keterbukaan Islam dalam menerima kebudayaan, salah satu pelopor penggunaan jas dan celana pada masa pergerakan nasional adalah K.H Wahid Hasyim yang merupakan anak dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU), K.H Hasyim Ashari.

Organisasi-organisasi Islam pada kurun waktu 1900-1945 juga mempengaruhi khasanah perkembangan Islam di Indonesia. Dimulai dari organisasi Islam yang bersifat politik seperti Sarekat Islam, Masyumi, Partai Nahdlatul Ulama (NU) dan organisasi Islam yang mengedepankan pendidikan sebagai persiapan mempersiapkan kemerdekaan seperti Muhammadiyah.

Pada dekade 1950-an terdapat tokoh-tokoh Islam yang terlibat langsung dalam pemerintahan Republik Indonesia yang pada era tersebut memberlakukan demokrasi Liberal. Natsir yang merupakan petinggi Masyumi mengawali kabinet Demokrasi Liberal menjadi Perdana Menteri dari 6 September 1950 - 21 Maret 1951 dan berperang dengan mengeluarkan "mosi integral" yang merupakan sebuah hasil keputusan parlemen mengenai bersatunya kembalinya sistem pemerintahan Indonesia dalam sebuah kesatuan. Syafrudin Prawiranegara, seorang tokoh Masyumi lainnya, berperan dalam mengatasi persoalan moneter Indonesia pasca revolusi dengan kebijakan "Gunting Syafrudin." Burhanudin Harahap berperan meletakkan dasar-dasar pemilu yang demokratis yang menjadi acuan dilaksanakannya pemilu tahun 1955.

Islam Pada Masa Orde Baru dan Reformasi

Pada tahun 1971, tepatnya setelah pemilu tahun 1971. Pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan fusi partai politik untuk menyederhanakan peta perpolitikan di Indonesia. Partai-partai yang di fusi berkelompok menjadi tiga kelompok yang terdiri dari golongan nasionalis dan golongan Islam, serta satu golongan karya. Partai-partai yang dilakukan fusi ini berkembang berdasarkan program kerja dan berusaha untuk diarahkan tidak terbawa oleh ideologi partai. 
  1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII, dan Partai Islam Perti yang dilakukan pada tanggal 5 Januari 1973 (kelompok partai politik Islam.)
2.      Partai Demokrasi Indonesia (PDI), merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo (kelompok partai politik yang bersifat nasionalis.
3.      Golongan Karya (Golkar).

Hal ini mengakibatkan pergeseran politik partai Islam yang cenderung untuk berpolitik berdasarkan perebutan kekuasaan di legislatif.

Selain melakukan fusi yang meleburkan kekuatan-kekuatan politik partai-partai, pemerintah Indonesia menetapkan kebijakan pemeurnian ajaran Pancasila dan pemberlakuan asa tunggal Pancasila yang mengakibatkan seluruh kekuatan partai politik haruslah berdasarkan ideologi Pancasila dalam berpolitik dan menjalankan pendidikan politik kepada kader dan masyarakat, memang Pancasila tidak bertentangan dengan Ideologi Islam. 

Ketetapan ini  tercantum pada UU No. 3 tahun 1985 tentang ditetapkannya Pancasila sebagai asas Partai Politik. Tidak lama setelah dikeluarkannya UU No. 3 tahun 1985, Orde Baru kembali mengeluarkan kebijakan mengenai Pancasila sebagai asas tunggal untuk organisasi-organisasi kemasyarakatan melalui UU No. 8 tahun 1985. Organisasi masyarakat diberi waktu dua tahun untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas.

Mengenai asa tunggal Pancasila, tidak banyak dari golongan Islam memprotes terhadap kebijakan ini, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama yang menyatakan Ideologi Pancasia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan ketetapan Muktamar NU 1984 yang menyatakan bahwa Pancasila dan NKRI Sudah Final karena sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Pada masa Reformasi yang mengakhiri kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998. Ketetapan mengenai asa tunggal Pancasila dicabut. Hal ini mengakibatkan seluruh kekuatan politik Islam dapat mengekspresikan Ideologi Islam dan aliran-aliran lainnya selama tidak bertentangan dengan Ideologi Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan kebebasan berpolitik yang terjadi di masa Reformasi, membuat bebas masuknya ideologi-ideologi dari luar, termasuk ideologi Islam yang memiliki aliran-aliran yang telah berkembang di luar negeri. 

Pada masa reformasi pula Ideologi yang bersifat fundamentalis dan konservatif serta ideologi yang bersifat ekstrimis menampakan diri dalam perpolitikan yang dilakukan oleh golongan Islam, hal ini karena NU dan Muhammadiyah tidak lagi menjadi dwi-tunggal yang mengundang perhatian banyak pengamat asing. Selain NU dan Muhammadiyah, realitasnya, ada banyak organisasi massa Islam di Indonesia, misalnya Persis atau Perti, namun memang tidak sebesar dua organisasi sebelumnya.

Salah satunya muncul organisasi Front Pembela Islam yang dikenal cukup konservatif yang bertujuan untuk mendirikan Negara Indonesia berlandaskan syariat Islam. Dan muncul organisasi-organisasi Islam yang lainnya yang tergabung dalam organisasi masyarakat (ORMAS). Meskipun hanya berupa ORMAS, hal ini lah yang cenderung dapat merubah konstelasi politik hinga ke lapisan bawah masyarakat tentang perpolitikan Islam dan seluruh aspek kehidupan umat Islam Indonesia.

Partai-partai Islam pun kembali bermunculan, diantaranya adalah PPP, PBB, Partai Keadilan, Partai Persatuan, Masyumi, Partai Kebangkitan Umat (PKU), Partai Abud Yatama (PAY), PSII-1905, PNU dan Partai Cinta Damai (PCD), serta PKB, PAN, Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI). Partai Politik Islam ini berusahan untuk merebut kekuasaan politik di DPR dan MPR, bahkan berkoalisi baik dengan partai Islam ataupun nasionalis untuk merebut kursi Lembaga Kepresidenan. 

Meskipun partai-partai Islam ini tidak meraih suara terbesar, namun koalisi mereka menjadi Poros Tengah yang dapat menghalangi tampilnya aliran dan kelompok Politikus nasionalis dan koalisinya serta memunculkan beberapa tokoh utama pada posisi-posisi strategis di lembaga eksekutif dan legistatif. Seperti Amin Rais sebagai ketua DPR-RI dari PAN dan Gus Dur sebagai Presiden dari PKB yang merupakan partai bentukan NU. Terorisme juga menjadi bagian yang mewarnai sejarah kontemporer Indonesia selama masa reformasi. 

Aksi-aksi terorisme ini melekat dengan kehidupan umat Islam di Indonesia karena pelaku-pelaku tindak terorisme yang berlaku sebagai oknum membawa Ideologi-ideologi kekerasan yang mereka klaim berlandaskan ideologi Islam. Ideologi-ideologi inilah yang disinyalir masuk ke Indonesia dari negara-negara Timur Tengah yang mengalami konflik berkepanjangan. Peristiwa-perista tindak terorisme yang membawa Islam sebagai landasan tindakannya membuat resah kehidupan masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Islam di Indonesia yang dikenal sebagai Islam yang reformis dan moderat tercoreng dengan tindakan-tindakan terorisme yang mengatasnamakan umat Islam Indonesia.

Peristiwa Bom Bali 1 (2002), Bom Hotel JW Marriott (2003), Bom Kedubes Australia (2004), Bom Bali 2 (2005), Bom Hotel JW Mariott dan Ritz-Carlton (2009), Bom Mapolresta Cirebon (2011), dan Bom Plaza Sarinah (2016), serta Bom Thamrin (2016) menjadi bukti bahwa kehidupan Islam Indonesia yang moderat tengah dirusak oleh Ideolog-Ideologi luar yang ingin mengarahkan Indonesia terlibat konflik Arab Spring yang tengah terjadi di negara-negara Teluk.

Namun sepertinya apa yang kita lihat bahwa perkembangan Ideologi semacam ini memang tidak berkembang pesat oleh karena Ideologi Islam Indonesia yang cenderung mengedepankan sifat moderat, luhur, dan reformis sehingga tidak terjerumus terhadap ideologi-ideologi praktis yang membawa Islam sebagai tujuan perjuangannya seperti, Wahabi dan Khawarij.

Meskipun demikian, kita tidak dapat membiarkan perkembangana ideologi semacam ini berkembang. Hal ini harus kita lakukan melihat perkembangan ideologi tersebut yang tengah melakukan kaderisasi terhadap pemuda-pemuda Indonesia yang secara usia mudah untuk dilakukan dogmatisasi. Dogmatisasi ini biasanya dilakukan dalam pengkaderan-pengkaderan yang dilakukan pada organisasi-organisasi Islam tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA, hingga Perguruan Tinggi (PT).


Just click here :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Selalu Dekat dengan Allah Swt.

TAAT ATURAN, KOMPETITIF DALAM KEBAIKAN, DAN ETOS KERJA

BERPIKIR KRITIS DAN BERSIKAP DEMOKRATIS