Al-Qur'an dan Hadis adalah Pedoman Hidupku

Al-Qur'an dan hadis pada pelaksanaan pembelajarannya banyak menekankan pada kemampuan baca tulis yang baik dan benar. Memahami makna secara tekstual dan kontekstual, serta mengamalkan kandungannya dalam kehidupan sehari-hari merupakan tahapan yang selalu dianggap lebih sulit, tidak hanya untuk dipraktekkan tetapi juga untuk diajarkan. Sebab pengamalan (implementasi) kandungan al-Qur’an dan hadis dalam kehidupan sehari-hari harus diawali dengan memantapkan keyakinan kepada keduanya sebagi “imam” (ikutan) dalam kehidupan.
Al-Qur’an sebagai imam telah tegas Allah jelaskan dalam firman-Nya surat al-An’am ayat 155, surat al-A’raf ayat 3 dan surat az-Zumar ayat 55. Dan empat dalil yang menguatkan bahwa hadis adalah juga imam dalam kehidupan yang mesti dijadikan ikutan. Keempat hal itu adalah Keimanan, al-Qur’an, hadis dan ijma’. Di sampingmenjadikan keduanya sebagai imam, juga dibutuhkan strategi/pola perlakuan terhadap keduanya sebagai imam, yaitu; berimam kepada al-Qur’an secara totalitas, berimam kepada hadis yang shahih dan hasan saja serta berimam kepada sebahagian hadis dha’if. Wallahu ‘a’lam bi al-shawwab


A. Al-Qur'an
Menurut bahasa, Al Qur'an berasal dari kata Qara'a, Yaqra'u, Qiraatan, Wa Qur'anan. yang artinya bacaan. Sedangkan menurut istilah Al Qur'an adalah Firman Allah swt yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dengan perantara malaikat Jibril yang tertulis dalam mushhaf-mushaf dan disampaikan kepada manusia dengan jalan mutawatir yang diperintahkan untuk mempelajarinya.


Sebagai kitab suci, Al Qur'an merupakan pedoman hidup kaum muslimin. Sebab di dalamnya terkandung aturan dan kaidah-kaidah kehidupan yang harus dijalankan oleh umat manusia. Allah swt menetapkan Al Qur'an sebagai sumber pertama dan utama bagi hukum islam. Sebagaimana firman-Nya dalam surat an Nisa' ayat 105 :


اِنـَّـا اَنْزَلْنَا اِلَيْكَ اْلكِتَـــابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّـاسَ بِمَــا اَرَكَ اللهُ وَلاَ تَكُنْ لِلْخـَـائِنِيْنَ خَصِيْمـًـا

Artinya : "Sungguh, kami telah menurunkan kitab (Al Qur'an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu dan janganlah engkau menjadi penantang (orang-orang yang telah bersalah) karena (membela) orang-orang yang berkhianat (QS. An Nisa' : 105)

Berdasarkan ayat di atas, dapat dipahami bahwa Al Qur'an merupakan sumber hukum islam yang sempurna dan paripurna. Di dalamnya terdapat pelajaran dan tuntunan kehidupan yang berharga dan mulia. Hanya saja semua itu baru dapat dipahami dan dimengerti jika kitab al Qur'an itu dibaca dengan seksama, dihayati dengan sepenuh hati dan diamalkan dengan sepenuh keyakinan.

Hukum-hukum alqur'an dikatakan sempurna dan paripurna karena di dalamnya tidak hanya menjelaskan persoalan-persoalan global, namun terdapat juga penjelasan tentang persoalan kehidupan yang sederhana dan mendasar sekalipun. Sebagai contoh, AlQur'an mengajarkan kepada kita bagaimana menjaga akhlak yang terpuji dengan cara bersikap sportif, terbuka, taat asas, dan mampu mengendalikan diri dai dorongan hawa nafsu. Orang yang tidak sportif disebut dengan munafik, sedangkan orang yang tidak taat asas serta tidak mampu mengendealikan diri disebut fasik, Baik fasik maupun munafik keduanya merupakan sikap tercela yang harus dihindari oleh umat islam.

Berjiwa sportif berarti memiliki jiwa ksatria, berani mengatakan yang benar adalah benar, dan yang salah adalah salah. Sikap mental yang demikian itu, dalam islam termasuk sikap yang terpuji dan dapat dikategorikan sebagai amal saleh. Begitu juga dengan sikap pengendalian diri dari hawa nafsu. Dalam al Qur'an dijelaskan bahwa nafsu itu datangnya dari syetan, dan syetan itu adalah  musuh manusia yang nyata. Orang yang mampu mengendalikan diri adalah orang yang mampu menghindari bujuk rayu syetan dengan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah swt.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tak ada sedikitpun tata aturan kehidupan yang tidak dijelaskan dalam al Qur'an. Manusia sebagai makhluk Allah swt harus mentaati tata aturan hukum yang terdapat dalam Al Qur'an. Agar dapat mengamalkan dengan baik, tentu saja manusia wajib membaca dan mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Orang yang tidak mentaati hukum-hukum Allah swt yang terkandung di dalam al Qur'an dapat digolongkan kepada orang-orang kafir, zalim, fasik dan munafik.

B. Kandungan Hukum dalam Al-Qur'an
a. Akidah atau Keimanan
Akidah atau keimanan adalah keyakinan yang tertancap kuat di dalam
hati. Akidah terkait dengan keimanan terhadap hal-hal yang gaib yang
terangkum dalam rukun iman (arkānu ³mān), yaitu iman kepada Allah Swt.
malaikat, kitab suci, para rasul, hari kiamat, dan qada/qadar Allah Swt.

b. Syari’ah atau Ibadah
Hukum ini mengatur tentang tata cara ibadah baik yang berhubungan
langsung dengan al-Khāliq (Pencipta) yaitu Allah Swt. yang disebut dengan
‘ibadah mahdlah, maupun yang berhubungan dengan sesama makhluknya
yang disebut dengan ibadah gairu mahdlah. Ilmu yang mempelajari tata
cara ibadah dinamakan ilmu fikih.
1) Hukum Ibadah
Hukum ini mengatur bagaimana seharusnya melaksanakan ibadah
yang sesuai dengan ajaran Islam. Hukum ini mengandung perintah
untuk mengerjakan śalat, haji, zakat, puasa dan lain sebagainya.
2) Hukum Mu’amalah
Hukum ini mengatur interaksi antara manusia dengan sesamanya,
seperti hukum tentang tata cara jual-beli, hukum pidana, hukum
perdata, hukum warisan, pernikahan, politik, dan lain sebagainya.

c. Akhlak atau Budi Pekerti
Selain berisi hukum-hukum tentang akidah dan ibadah, al-Qur’ān juga
berisi hukum-hukum tentang akhlak. Al-Qur’ān menuntun bagaimana
seharusnya manusia berakhlak atau berperilaku, baik akhlak kepada Allah
Swt., kepada sesama manusia, dan akhlak terhadap makhluk Allah Swt.
yang lain. Pendeknya, akhlak adalah tuntunan dalam hubungan antara
manusia dengan Allah Swt.– hubungan manusia dengan manusia – dan
hubungan manusia dengan alam semesta. Hukum ini tecermin dalam
konsep perbuatan manusia yang tampak, mulai dari gerakan mulut
(ucapan), tangan, dan kaki.

C. Hadis atau Sunnah
Al-Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.

    As-Sunnah atau Al-Hadits merupakan wahyu kedua setelah Al-Qur’an sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah :
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan (sesuatu) yang serupa dengannya.” -yakni As-Sunnah-, (H.R. Abu Dawud no.4604 dan yang lainnya dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad IV/130)


   Yang dimaksud As-Sunnah adalah Sunnah Nabi, yaitu segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad berupa perkataan, perbuatan, atau persetujuannya (terhadap perkataan atau perbuatan para sahabatnya) yang ditujukan sebagai syari’at bagi umat ini.

    Sudah menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin pada generasi awal, bahwa As-Sunnah merupakan sumber kedua dalam syari’at Islam di semua sisi kehidupan manusia, baik dalam perkara ghaib yang berupa aqidah dan keyakinan, maupun dalam urusan hukum, politik, pendidikan dan lainnya. Tidak boleh seorang pun melawan As-Sunnah dengan pendapat, ijtihad maupun qiyas. Imam Syafi’i rahimahullah di akhir kitabnya, Ar-Risalah berkata, “Tidak halal menggunakan qiyas tatkala ada hadits (shahih).” Kaidah Ushul menyatakan, “Apabila ada hadits (shahih) maka gugurlah pendapat”, dan juga kaidah “Tidak ada ijtihad apabila ada nash yang (shahih)”. Dan perkataan-perkataan di atas jelas bersandar kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

     Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan wasiat sekaligus jalan keluarnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Sesungguhnya siapa saja diantara kalian yang hidup sepeninggalku nanti niscaya akan melihat perselisihan yang begitu banyak (dalam memahami agama ini). Oleh karena itu, wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku (jalanku) dan sunnah Khulafa` Ar Rasyidin yang terbimbing. Berpegang teguhlah dengannya. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Majah, dan lainnya. Dari shahabat Al Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu. Shohih, lihat Irwa`ul Ghalil, hadits no. 2455)

D. Macam-macam Hadits
DITINJAU DARI SEGI SUMBERNYA, Hadits terbagi menjadi dua macam, yaitu
*Hadits Qudsi (disebut juga Hadits Robbani) dan,
*Hadits Nabawi (disebut juga Hadits Nabi).

DITINJAU DARI SEGI RAWINYA (KUANTITAS), Hadits dibagi dalam dua bentuk besar, yaitu
*Hadits Mutawatir dan,
*Hadits Ahad.

DITINJAU DARI SEGI SANADNYA (KUALITAS), Hadits dikelompokkan dalam tiga macam ;
*Shohih,
*Hasan dan,
*Dhoif.

A. Hadits Qudsi

adalah Firman Allah SWT.,yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW., kemudian Beliau menyampaikan dengan redaksi (susunan kata/kalimat) nya sendiri. Dengan demikian makna Hadits Qudsi tersebut berasal dari Allah SWT., sedangkan lafal/redaksinya dari Nabi SAW.
contoh :

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ  صلى الله عليه وسلم: يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى وَأَنَا مَعَهُ حِينَ يَذْكُرُنِى. (رواه البخارى

Artinya: Dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah SAW. bersabda; Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Aku, menurut sangkaan hamba-Ku dan Aku besertanya di mana saja dia menyebut (mengingat) Aku.” (H.R. Bukhari) 

B. Hadits Nabawi

adalah Hadits yang makna maupun lafalnya berasal dari Nabi Muhammad SAW., sendiri.

Perbedaan Hadits Qudsi dan Nabawi

1.Lafal dan makna Al-Qur’an berasal dari Allah SWT, sebaliknya Hadits Qudsi hanya maknanya saja yang berasal dari Allah SWT. Sedangkan redaksinya (susunan kalimatnya) dari Nabi Muhammad SAW.

2.Periwayatan Al-Qur’an tidak boleh dengan maknanya saja, sebaliknya Hadits Qudsi boleh diriwayatkan hanya dengan maknanya.

3. Al-Qur’an terutama surat Al-Fatihah harus dibaca dalam sholat, sebaliknya Hadits Qudsi tidak boleh dibaca sewaktu sholat.

Hadits Mutawatir dan Aahad

 A. Hadits Mutawatir

adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang dalam setiap sanadnya dan mustahil para perawinya berdusta. Sebab hadits ini diriwayatkan oleh banyak orang dan disampaikan kepada banyak orang, oleh karena itu diyakini kebenarannya. Dalam hal keotentikannya, Hadits Mutawatir sama dengan Al-Qur’an, karena keduanya merupakan sesuatu yang pasti adanya (Qoth’i al-wurud). Oleh sebab itu para ‘Ulama sepakat bahwa Hadits Mutawatir wajib diamalkan.

Contoh Hadits Mutawatir : Muhammad rasulullah SAW., bersabda : “Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempat (kembali)nya dalam neraka.” (HR. Bukhori, Muslim, Darimi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi, Thobroni, dan Hakim )

hadits mutawatir terbagi dua :

1. Mutawatir lafzi, yakni perkataan Nabi Muhammad SAW.

2. Mutawatir ‘amali, yakni perbuatan Nabi Muhammad SAW.

B. Hadits Aahad

yaitu Hadits yang tidak mencapai derajat Mutawatir.

Mengenai hadits ini, para imam mazhab berbeda pendapat.

Menurut Imam Hanafi (Abu Hanifah), jika rawinya orang – orang yang adil maka hanya dapat dijadikan hujjah pada bidang amaliyah, bukan pada bidang aqidah dan ilmiah.

Imam Malik berpendapat hadits ini dapat dipakai menetapkan hukum-hukum yang tidak dijumpai dalam Al-Qur’an.

Imam Syafi’i menegaskan, hadits ini dapat dijadikan hujjah jika rawinya berakal, dhobit, mendengar langsung dari Nabi Muhammad SAW., dan tidak menyalahi pendapat ‘ulama hadits.

Hadits Dilihat dari Segi Kwalitasnya

1. Hadits Shohih,

yaitu hadits yang cukup sanadnya dari awal sampai akhir dan oleh orang – orang yang sempurna hafalannya,

Syarat hadits shohih adalah :

a.  اتصال السند artinya hadits shahih adalah hadits yang musnad (hadits yang lagsung marfu’ kepada Nabi saw)

b.  العدل artinya diriwayatkan oleh tokoh sanad hadits yang bersifat adil

c.  الضبط semua perawinya dhabith, artinya perawi hadits tersebut memiliki ketelitian dalam menerima hadits, memahami apa yang ia dengar, serta mampu mengingat dan menghafalnya sejak ia menerima hadits.

d.  غير شاذ hadits shahih bukanlah hadits yang syadz (kontroversial) atau sejahtera dari keganjilan (tidak bertentangan dengan riwayat yang lebih rajih).

e.  غير معال hadits shihih bukan hadits yang terkena ‘illat (cacat).

Hadits Shohih dibagi dua :

*Shohih Lizatihi,

yakni hadits yang shohih dengan sendirinya tanpa diperkuat dengan keterangan lainnya.

Contoh Hadits Hudzaifah dimana ia berkata : “ Saya mendengar Rasulullah SAW., bersabda : “Tidak akan masuk surga orang yang suka mengadu domba.” (HR. Al-Bukhori).

*Shohih Lighoirihi,

yakni hadits yang keshohihannya diperkuat dengan keterangan lainnya.
contoh : Hadits Muhammad bin ‘Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairahradhiyallahu 'anhu:

أن رسول اللهصلى الله عليه وسلم ‏ ‏قال ‏ ‏لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة

‏ Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallambersabda:”Seandainya tidak memberatkan ummatku, niscaya akan aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali hendak shalat.” (HR. at-Tirmidzi, Kitab ath-Thaharah)

Ibnu ash Shalah  rahimahullah  berkata:

”Maka Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah adalah termasuk orang yang terkenal dengan kejujuran dan kehormatan. Akan tetapi ia bukan termasuk orang yang matang (dalam hafalannya, ed), sehingga sebagian ulama mengatakan bahwa ia dha’if (lemah) dari sisi buruknya hafalannya. Dan sebagian ulama yang lainnya mengatakan bahwa ia tsiqah (kredibel) dikarenakan kejujurannya dan kehormatannya. Maka haditsnya dari jalur ini adalah hadits Hasan. Maka ketika digabungkan kepadanya riwayat-riwayat dari jalur lain, hilanglah apa yang kita kita khawatirkan dari sisi buruknya hafalan, dan tertutupilah dengan hal itu kekurangan yang sedikit, sehingga sanad hadits ini menjadi shahih, dan disetarakan dengan tingkatan hadits shahih.”(Muqaddimah Ibnu ash-Shalah)

2. Hadits Hasan

terbagi dua :

*.  Hadits hasan lidzatihi

Hadits hasan lidzatihi ialah hadits yang bersambung-sambung sanadnya dengan orang yang adil yang kurang kuat hafalannya dan tidak terdapat padanya syudzudz dan ‘illat.

Contohnya : adalah hadits yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi dan Abu Hurairah, bahwasannya Rasul bersabda:

لولا ان اشق على امتى لا مرتهم بالسواك عند كل صلاة

“Sekiranya tidak aku memberatkan umatku, tentulah aku memerintahkan mereka beristiwak di tiap-tiap shalat”.

* Hadits Hasan Lighairihi

Definisi: Yaitu hadits Dha’if jika memiliki jalur periwayatan yang banyak, dan sebab dha’ifnya hadits tersebut bukan karena fasiqnya perawi hadits tersebut atau kedustaannya.

Bisa diambil faidah dari definisi di atas bahwa hadits Dha’if bisa meningkat derajatnya menjadi Hasan Lighairihi dengan dua hal:

Pertama Diriwayatkan dari jalur lain satu riwayat atau lebih, dengan catatan jalur lain tersebut sama kedudukannya atau lebih kuat darinya.

Kedua Sebab dhai’fnya hadits tersebut dikarenakan buruknya hafalan perwainya, atau karena keterputusan dalam sanadnya, atau karena ketidakjelasan para perawinya (maksudya bukan karena dustanya perawi, atau cacat dalam masalah agamanya.

Contohnya: Hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi rahimahullah dan beliau mengatakannya hasan, dari jalur Syu’bah bin ‘Ashim bin ‘Ubaidillah dari ‘Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah dari bapaknya, bahwasanya ada seorang perempuan dari Bani Fazarah menikah dengan mahar dua sendal. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya:

أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ؟ ». فَقَالَتْ : نَعَمْ فَأَجَازَ

Apakah engkau rela (ridha) sebagai gantimu dan hartamu dua sandal (maksudnya apakah engaku rela maharmu dua sandal).” Perempuan itu menjawab:”Iya (saya rela)” Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallammembolehkannya.

Imam at-Tirmidzi  rahimahullah  berkata:”Dan dalam bab ini ada hadits dari ‘Umar, Abu Hurairah, dan ‘Aisayh radhiyallahu 'anhum.”

Maka ‘Ashim adalah seorang yang dha’if disebabkan buruknya hafalan. Namun imam at-Tirmidzi telah mengatakan bahwa hadits ini hasan dikarenakan datangnya riwayat ini dari banyak versi (sisi).

3. Hadits Dhoif (lemah), yaitu hadits yang tidak memenuhi syarat Shohih dan Hasan. Contohnya : “ Barang siapa berkata kepada orang miskin : ‘bergembiralah’, maka wajib baginya surga.” (HR. Ibnu A’di).

*Hadits Dloif  karena terput sanadnnya :

1. Hadits Mursal,

yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tabi’in dengan menyebutkan ia menerimanya langsung dari Nabi Muhammad SAW.

2. Hadits Munqothi’,

yaitu hadits yang salah seorang rawinya gugur (tidak disebutkan namanya), bisa terjadi ditengah atau di akhir.

3. Hadits Al-Mu’adhol,

yaitu hadits yang dua orang atau lebih perawinya setelah sahabat tidak disebutkan dalam rangkaian sanad.

4. Hadits Mudallas,

yaitu hadits yang rawinya meriwayatkan hadits tersebut dari orang yang sezaman dengannya.

5. Hadits Mu’allal,

yaitu yang memiliki cacat pada sanad maupun pada matannya.

*Hadits-hadits dha’if disebabkan oleh cacat perawinya :

1. Hadits Maudhu’

Yang berarti yang dilarang, yaitu hadits dalam sanadnya terdapat perawi yang berdusta atau dituduh dusta. Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas disebut hadits.

2. Hadits Matruk

Yang berarti hadits yang ditinggalkan, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja sedangkan perawi itu dituduh berdusta.

3. Hadits Mungkar

Yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya / jujur.

4. Hadits Mu’allal

Artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu’allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa disebut juga dengan hadits Ma’lul (yang dicacati) atau disebut juga hadits Mu’tal (hadits sakit atau cacat).

5. Hadits Mudhthorib

Artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidak sama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan.

6. Hadits Maqlub

Artinya hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi).

7. Hadits Munqalib

Yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah.

8. Hadits Mudraj

Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang didalamnya terdapat tambahan yang bukan hadits, baik keterangan tambahan dari perawi sendiri atau lainnya.

9. Hadits Syadz

Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya) yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi (periwayat / pembawa) yang terpercaya pula. Demikian menurut sebagian ulama Hijaz sehingga hadits syadz jarang dihapal ulama hadits. Sedang yang banyak dihapal ulama hadits disebut juga hadits Mahfudz.


E. Ijtihad 
Ijtihad berasal dari kata ijtahada yajtahidu ijtihadan artinya mengerahkan kemampuan dalam menanggung beban. Pengertian Ijtihad terbagi atas 2 yaitu pengertian ijtihad menurut bahasa dan pengertian ijtihad menurut istilah. Pengertian ijtihad menurut bahasa adalah bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran. sedangkan pengertian ijtihad menurut istilah adalah mencurahkan seluruh tenaga dan pikiran dengan sungguh-sungguh dalam menetapkan hukum syariat. jadi, Ijtihad dapat terjadi jika pekerjaan yang dilakukan terdapat unsur-unsur kesulitan.

Pengertian Ijtihad secara termologis adalah mencurahkan  seluruh kemampuan dalam mencari syariat dengan cara-cara tertentu. Ijtihad termasuk sumber-sumber hukum islam yang ketiga setelah Al-Qu'an, Hadist, yang memiliki fungsi dalam menetapkan suatu hukum dalam islam. Orang yang melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid. Pengertian Ijtihad secara umum adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al-Qur'an dan Hadist dengan syarat menggunakan akal sehat dan juga pertimbangan matang.

Tujuan Ijtihad adalah memenuhi keperluan umat manusia dalam beribadah kepada Allah di tempat dan waktu tertentu. sedangkan Fungsi Ijtihad adalah untuk mendapatkan solusi hukum, jika terdapat suatu masalah yang harus diterapkan hukumnya, namun tidak dijumpai pada Al-Qur'an dan Hadist. Fungsi Ijtihad sangat penting karena telah diakui kedudukan dan legalitasnya dalam islam, namun tidak semua orang dapat melakukan ijtihad, hanya dengan orang-orang tertentu yang dapat memenuhi syarat-syarat menjadi mujtahid seperti yang ada dibawah ini.... 

Syarat-Syarat Menjadi Ijtihad (Mujtahid)
  • Mengetahui ayat dan sunnah yang berhubungan dengan hukum.
  • Mengetahui masalah-masalah yang telah di ijma’kan oleh para ahlinya
  • Mengetahui Nasikh dan Mansukh.
  • Mengetahui bahasa arab dan ilmu-ilmunya dengan sempurna.
  • Mengetahui ushul fiqh
  • Mengetahui dengan jelas rahasia-rahasia tasyrie’ (Asrarusyayari’ah).
  • Menghetahui kaidah-kaidah ushul fiqh
  • Mengetahui seluk beluk qiyas.


http://www.artikelsiana.com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAAT ATURAN, KOMPETITIF DALAM KEBAIKAN, DAN ETOS KERJA

Aku Selalu Dekat dengan Allah Swt.

BERPIKIR KRITIS DAN BERSIKAP DEMOKRATIS